- 2/3 bagian bumi terdiri dari air, tapi hanya 3% yang bisa langsung digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan hanya 1% yang aman untuk diminum. 97% sisanya adalah air asin dari laut.
- Tidak hanya bumi, 2/3 bagian tubuh kita pun terdiri dari air.
- Saat kamu merasa haus, ternyata kamu baru kehilangan 1% dari jumlah air dalam tubuhmu.
- Makhluk hidup hanya bisa bertahan 3 hari tanpa air.
- Hampir 1/2 penduduk dunia menderita berbagai penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan air atau air yang tercemar.
- 1 dari 4 orang di dunia kekurangan air minum.
- 1 dari 3 orang tidak mendapat sarana sanitasi yang layak.
- Di Indonesia daerah rawan krisis air bersih di pulau Jawa adalah Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
- Sumur diperkirakan akan mengalami krisis air bersih yang sangat hebat pada tahun 2015.
Selasa, 29 Juni 2010
tHe bLuE pLanEt
Jumat, 18 Juni 2010
Jatuh Cinta
“Hooaaahhmmmmmmm.. Halo?”
Saat itu sekitar pukul 10.00 di satu pagi bulan Juli yang indah, dan aku baru saja dibangunkan dari tidur yang nyenyak oleh dering telepon yang terlalu awal. Aku tak sadar takdirku berada di ujung lain telepon.
“Apakah ini Leigh?” suara tenor itu bertanya.
“Yeah. Ini Leigh.” Aku langsung duduk tegak, membuat kepalaku terbentur kepala ranjang. Aku mengusap-usap dahiku dan terpaku tak percaya menatap gagang telepon di tanganku.
Aku bertemu Josh ketika kami sama-sama bekerja di sebuah restoran pizza. Bagiku itu cinta pada pandangan pertama, dan seluruh pegawai restoran mengetahuinya. Aku tak peduli kalau Josh lima tahun lebih tua daripada aku atau bahwa ia tidak tahu namaku (itu yang aku kira hingga telepon ini membuktikan sebaliknya). Aku 100% tergila-gila kepada pemuda itu, pemuda yang saat ini berada di ujung lain sambungan teleponku, memanggil namaku…
“Leigh? Halo? Leigh?”
Aku berhasil mengembalikan sedikit kesadaranku untuk menjawab. “Ya. Aku disini. Eh, hai.”
“Leigh, aku perlu bicara denganmu. Apa boleh aku menjemputmu setengah jam lagi?”
Bolehkah dia? “Yeah. Tentu.” Aku menjawab, mencoba terdengar santai. Kami mematikan sambungan, dan aku terpaku menatap telepon selama beberapa saat lagi, sampai aku sadar bahwa aku punya waktu dua puluh delapan menit sebelum pujaan hatiku sampai di pintu depan rumahku untuk menyatakan perasaannya kepadaku.
Tiga puluh menit kemudian, aku berdiri menengadah menatap sosok Josh di ambang pintu rumahku. Rasanya seperti mimpi. Ia tampak agak salah tingkah saat berdiri di sana, tubuh tinggi rampingnya bergerak-gerak gelisah.
“Ayo kita pergi.” Katanya.
Josh lebih dulu berjalan menuju mobilnya, lalu kami sama-sama naik. Ketika kami keluar dari halaman rumahku, aku kembali menatap wajahnya yang tampan. Bibirnya penuh tapi kencang, hidungnya lurus dan sempurna, dan matanya, mata mahoninya yang berkilat, lebar, dan indah sedang… membalas tatapanku! Wajahku merona malu, dan mulutku berusaha mengucapkan sesuatu, tapi Josh memotong perkataanku. Ia tidak berbasa-basi, tapi langsung ke pokok persoalan.
“Aku sudah lama mendengar gosip di tempat kita bekerja,” ia mulai berbicara.
Ini bukan pendahuluan yang kuharapkan.
“Gosip macam apa?” aku memberanikan diri bertanya.
Josh melontarkan tatapan menuduh. “Oh, orang-orang cuma bilang bahwa kau dan aku berkencan, dan bahwa kau dan aku akan bertunangan. Segala macam omongan yang muluk-muluk.” Ia menatapku penuh arti. “Karena aku bahkan tidak pernah berbicara denganmu sampai pagi ini, aku tidak mengerti bagaimana ada orang yang bisa mendapat kesan itu. Kecuali seseorang,” ia berhenti dengan dramatis, “mengatakannya kepada mereka.”
Aku terpaku menatapnya, kaget. Lama aku tidak bisa berbicara, mulutku mencoba menyusun bantahan yang tidak bisa melewati tenggorokanku. Sebuah catut menjepit hatiku, meremasnya sakit. Akhirnya, aku berhasil sedikit menenangkan diri untuk mengatakan, “Aku bersumpah, aku tidak pernah mengucapkan hal semacam itu. Aku mungkin memang” ---tenggorokanku mulai mengerut, tapi aku berhasil berbisik dengan perasaan terhina--- “agak menyukaimu, dan beberapa orang mengetahuinya, tapi aku berjanji, aku bersumpah padamu, aku tidak pernah mengisyaratkan hal-hal lain. Aku minta maaf.”
Josh menatapku. Rasa kagetku karena tuduhannya dan setiap penghinaan yang kurasakan tertera jelas di wajahku. Sesaat kemudian, ia menerima kebenaran yang kunyatakan, dan ia mencoba mengganti topic pembicaraan dengan hal-hal yang lebih ringan. Tapi aku sibuk berusaha menahan airmataku supaya tidak menetes, dan tidak bisa menjadi teman bicara yang baik.
Lima menit kemudian, aku memintanya membawaku ke rumah temanku Annette. Ketika mobilnya pergi, airmataku berderai membasahi pipi. Aku berbalik dan melihat Annette bergegas keluar rumah. Aku berlari ke arahnya dan isak tangis membuat tubuhku bergunjang. Ketika tangisku sudah mereda, sahabatku memegang wajahku dengan kedua tangannya dan berkata pelan, dengan kebijaksanaan yang jauh lebih matang daripada usianya, “Jika rasanya enak, orang takkan menyebutnya jatuh cinta.”
-J.Leigh Tunner-