Who knows how long I've loved you
You know I love you still..
Will I wait a lonely lifetime
If you want me to, I will...
For if I ever saw you
I didn't catch your name ..
But it never really mattered
I will always feel the same...
Love you forever and forever
Love you with all my heart..
Love you whenever we're together
Love you when we're apart...
And when at last I find you
Your song will fill the air
Sing it loud so I can hear you
Make it easy to be near you
For the things you do endear you to me
Oh, you know, I will..
I will...
Rabu, 06 Oktober 2010
..I Will..
Selasa, 31 Agustus 2010
tes tes psikotes..
Minggu, 22 Agustus 2010
Cara Abu Nawas Merayu Tuhan
Tak selamanya Abu Nawas bersikap konyol. Kadang-kadang timbul kedalaman hatinya yang merupakan bukti kesufian dirinya. Bila sedang dalam kesempatan mengajar, ia akan memberikan jawaban-jawaban yang berbobot sekalipun ia tetap menyampaikannya dengan ringan.
Seorang murid Abu Nawas ada yang sering mengajukan macam-macam pertanyaan. Tak jarang ia juga mengomentari ucapan-ucapan Abu Nawas jika sedang memperbincangkan sesuatu. Ini terjadi saat Abu Nawas menerima tiga orang tamu yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Abu Nawas.
“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” ujar orang yang pertama.
“Orang yang mengerjakan dosa kecil,” jawab Abu Nawas.
“Mengapa begitu,” kata orang pertama mengejar.
“Sebab dosa kecil lebih mudah diampuni oleh Allah,” ujar Abu Nawas. Orang pertama itupun manggut-manggut sangat puas dengan jawaban Abu Nawas.
Giliran orang kedua maju. Ia ternyata mengajukan pertanyaan yang sama, “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.
“Yang utama adalah orang yang tidak mengerjakan keduanya,” ujar Abu Nawas.
“Mengapa demikian?” tanya orang kedua lagi.
“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu pengampunan Allah sudah tidak diperlukan lagi,” ujar Abu Nawas santai. Orang kedua itupun manggut-manggut menerima jawaban Abu Nawas dalam hatinya.
Orang ketiga pun maju, pertanyaannya pun juga seratus persen sama. “Manakah yang lebin utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.
“Orang yang mengerjakan dosa besar lebih utama,” ujar Abu Nawas.
“Mengapa bisa begitu?” tanya orang ktiga itu lagi.
“Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba-Nya,” ujar Abu Nawas kalem. Orang ketiga itupun merasa puas argumen tersebut. Ketiga orang itupun lalu beranjak pergi.
***
Si murid yang suka bertanya kontan berujar mendengar kejadian itu. “Mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan tiga jawaban yang berbeda,” katanya tidak mengerti.
Abu Nawas tersenyum. “Manusia itu terbagi atas tiga tingkatan, tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati,” jawab Abu Nawas.
“Apakah tingkatan mata itu?” tanya si murid.
“Seorang anak kecil yang melihat bintang di langit, ia akan menyebut bintang itu kecil karena itulah yang tampak dimatanya,” jawab Abu Nawas memberi perumpamaan.
“Lalu apakah tingkatan otak itu?” tanya si murid lagi.
“Orang pandai yang melihat bintang di langit, ia akan mengatakan bahwa bintang itu besar karena ia memiliki pengetahuan,” jawab Abu Nawas.
“Dan apakah tingkatan hati itu?” Tanya si murid lagi.
“Orang pandai dan paham yang melihat bintang di langit, ia akan tetap mengatakan bahwa bintang itu kecil sekalipun ia tahu yang sebenarnya bintang itu besar, sebab baginya tak ada satupun di dunia ini yang lebih besar dari Allah SWT,” jawab Abu Nawas sambil tersenyum.
Si murid pun mafhum. Ia lalu mengerti mengapa satu pertanyaan bisa mendatangkan jawaban yang berbeda-beda. Tapi si murid itu bertanya lagi.
“Wahai guruku, mungkinkah manusia itu menipu Tuhan?” tanyanya.
“Mungkin,” jawab Abu Nawas santai menerima pertanyaan aneh itu.
“Bagaimana caranya?” tanya si murid lagi.
“Manusia bisa menipu Tuhan dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa,” ujar Abu Nawas.
“Kalau begitu, ajarilah aku doa itu, wahai guru,” ujar si murid antusias.
“Doa itu adalah, “Ialahi lastu lil firdausi ahla, Wala Aqwa alannaril Jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzambil adzimi.” (Wahai Tuhanku, aku tidak pantas menjadi penghuni surga, tapi aku tidak kuat menahan panasnya api neraka. Sebab itulah terimalah tobatku dan ampunilah segala dosa-dosaku, sesungguhnya Kau lah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar).
Banyak orang yang mengamalkan doa yang merayu Tuhan ini.
Jumat, 16 Juli 2010
berapa harganya seorang pria baik-baik?
Rabu, 07 Juli 2010
Ayo Belajar Mengucapkan “Saya Tidak Tahu”
Disamping golongan pengingkar sunnah yang menolak hadits-hadits shahih dengan akal dan hawa nafsunya, adapula golongan yang “sok tahu“. Mereka berbicara tanpa ilmu. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa Dajjal akan keluar dari segitiga bermuda, Dajjal adalah Amerika karena memandang dengan sebelah mata, Ya’juj dan Ma’juj adalah pasukan mongol, dan lain-lain.
Maka pada edisi kali ini akan kami bawakan dalil dan ucapan para shahabat dan ulama’ yang membimbing kita untuk belajar mengatakan “tidak tahu” terhadap hal-hal yang memang tidak diketahui, apalagi pada perkara-perkara yang ghaib yang tidak ada perincian dan penjelasannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan dimintai pertanggung-jawabannya” (Al-Isra:36)
Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu Wata’ala mengajarkan pada kita agar tidak berbicara tentang sesuatu kecuali dengan ilmu. Apalagi jika masalah itu berkaitan dengan Dzat Allah, perbuatan Allah, nama-nama dan sifat-sifatNya, ataupun perkara-perkara yang belum terjadi dan yang akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat, hari kebangkitan, hisab, surga dan neraka, ataupun yang selainnya.
Dalam masalah-masalah tersebut, kita tidak mungkin bisa mengetahuinya dengan panca indera atau akal kita. Kita hanya mengetahui sebatas apa yang diberitakan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits yang shahih sesuai dengan apa yang dipahami oleh para shahabat Radhiyallahu ‘Anhum.
Muadz Bin Jabbal Radhiyallahu ‘Anhu ketika ditanya oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alahi Wasallam tentang sesuatu yang tidak diketahui, maka beliau menjawabAllahu wa Rasuluhu a’lam. Disebutkan dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Mu’adz Bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu. Ketika Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam berkata pada Muadz: “Ya Muadz tahukan engkau apa hak Allah di atas hambaNya? Muadz menjawab: Allah dan RasulNya lebih tahu”. Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya), “Hak Allah di atas hambaNya adalah agar mereka beribadah kepadaNya dan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun”. Kemudian Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam berkata lagi, “Tahukah engkau apa hak mereka jika telah menunaikannya? Muadz menjawab: Allah dan RasulNya lebih tahu”(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
Ini menunjukkan adab seorang shahabat ketika ditanya dengan sesuatu yang tidak dia ketahui, mereka mengatakan “Allah dan RasulNya lebih tahu” *.
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri pun diajarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala untuk menjawab “Wallahu a’lam” ketika ditanya tentang ruh, karena itu urusan Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan mereka bertanya kepadamu tentang urusan ruh. Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Rabbku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Isra:85).
Maka Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tidak malu untuk mengatakan “tidak tahu” pada perkara-perkara yang memang Allah tidak turunkan ilmu kepadanya. Atau beliau menunda jawabannya hingga turun jawaban dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Hikmah dari jawaban-jawaban beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam ini adalah: kaum Yahudi dan Musyrikin mengetahui betul bahwa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tidak mengucapkan dari hawa nafsunya, melainkan dari wahyu Allah yang diturunkan kepadanya. Jika ada keterangan wahyu dari Allah beliau jawab, dan jika tidak maka Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam menundanya.
Imam Asy-Sya’bi Rahimahullah pernah ditanya dalam suatu masalah. Beliau menjawab, “Saya tidak tahu”. Maka si penanya heran dan berkata, “Apakah kamu tidak malu mengatakan “tidak tahu”, padahal engkau adalah ahlul fiqh negeri Iraq?” Beliau menjawab, “Tidak, karena para malaikat sekalipun tidak malu mengatakan tidak tahu, ketika Allah tanya: “Sebutkan kepadaKu nama benda-benda itu jika kamu memang benar!”(Al-Baqoroh:31). Maka para malaikat menjawab: “Mereka menjawab: Mahasuci Engkau, tidak ada ilmu bagi kami selain dari apa yang telah engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Al-Baqoroh:32) (Lihat ucapan Imam Asy-Sya’bi dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhili (2/51) melalui Hilyatul ‘Alimi al-Mu’alim karya Salim bin Ied Al-Hilali).
Dakwah ini adalah menyampaikan apa yang Allah turunkan dan apa yang Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam jelaskan. Bukan buatan sendiri, berpikir sendiri, atau memberat-beratkan diri dengan sesuatu yang tidak ada ilmu padanya. Allah berfirman (yang artinya),“Katakanlah (hai Muhammad): Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kalian atas dakwahku, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan (memaksakan diri). Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kalian akan mengetahui (kebenaran) berita Al-Qur’an setelah beberapa waktu lagi.” (Shaad:86 – 88)
Karena ayat inilah Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu marah ketika ada seseorang yang berbicara tanda-tanda hari kiamat dengan tanpa ilmu. Beliau Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Barangsiapa yang memiliki ilmu maka katakanlah! Dan barangsiapa yang tidak memiliki ilmu maka katakanlah “Wallahu A’lam!” Karena sesungguhnya Allah telah mengatakan pada nabiNya: Katakanlah (hai Muhammad): Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kalian atas dakwahku, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan (memaksakan diri).” (Atsar riwayat Ad-Darimi juz 1/62; Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayaanil Ilmi juz 2/51; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 797; Al Khatib Al Baghdadi dalam Al Faqiih wal Mutafaqih; melalui nukilan Hilyatul Alimi Al-Mu’allim, hal 59)
Demikian pula Abu Bakar Shidiq Radhiyallahu ‘Anhu ketika ditanya tentang tafsir suatu ayat yang tidak beliau ketahui, beliau menjawab, ” Bumi mana yang akan aku pijak, langit mana yang akan menaungiku, mau lari kemana aku atau apa yang akan aku perbuat kalau aku mengatakan tentang ayat Allah tidak sesuai dengan apa yang Allah kehendaki” (Atsar riwayat Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi, juz 2/52; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 792; lihat Hilyatul ‘Alimi Al-Mu’allim, hal 60).
Diriwayatkan ucapan yang semakna dari Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, dan juga dinukilkan dari para shahabat oleh para ulama setelahnya seperti Maimun Bin Mihran, Amir Asy-Sya’bi, Ibnu Abi Malikah, dan lain-lain. (lihat sumber yang sama halaman 60).
Pernah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu ditanya tentang satu masalah, kemudian beliau menjawab, “Aku tidak mempunyai ilmu tentangnya” (padahal saat itu beliau sebagai khalifah -red). Beliau berkata setelah itu, “Duhai dinginnya hatiku” (3X). Maka para penanya berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin apa maksudmu?”. Ali Bin Abi Thalib menjawab, “Yakni dinginnya hati seseorang ketika ditanya tentang sesuatu yang tidak ia ketahui”. Kemudian ia menjawab, “Wallahu A’lam”.(Riwayat Ad-Darimi 1/62-63; Al Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqih, juz 2 hal 71; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 794 dari jalan yang banyak. Lihat Hilyatul ‘Alimi Al-Mu’alim hal 60).
Kejadian yang sama juga terjadi pada Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu ketika beliau ditanya, “Apakah bibi mendapat warisan?”. Beliau menjawab saya tidak tahu. Kemudian si penanya berkata, “Engkau tidak tahu dan kamipun tidak tahu, lantas…?”. Maka Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Pergilah kepada para Ulama di Madinah, dan tanyalah kepada mereka”. Maka ketika dia (si penanya -red) berpaling, dia berkata, “Sungguh mengagumkan Abu Abdirrahman (Yakni Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu) ditanya sesuatu yang beliau tidak tahu, beliau katakan: Saya tidak tahu”. (Riwayat Ad-Darimi 1/63; Ibnu Abdi Abdi Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi; Al-Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqih juz 2 hal 171-172; Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal, 769. Lihat Hilyatul ‘Alimi Al-Mu’allim ha 61).
Datang seseorang kepada Imam Malik Bin Anas Rahimahullah, bertanya tentang satu masalah hingga beberapa hari beliau belum menjawab dan selalu mengatakan “saya tidak tahu”. Sampai kemudian orang itu datang dan berkata, “Wahai Abu ‘Abdillah, aku akan keluar kota dan aku sudah sering pulang pergi ke tempatmu (yakni meminta jawaban)”. Maka Imam Malik menundukkan kepalanya beberapa saat, kemudian mengangkat kepalanya dan berkata, “Masya Allah Hadza, aku berbicara adalah untuk mengharapkan pahala. Namun, aku betul-betul tidak mengetahui apa yang kamu tanyakan.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilya, 6/323; Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi 2/53; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 816; Al-Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqih 2/174; lihat Hilyatul ‘Alimi al Mu’allim, ha 63).
Dari beberapa ucapan di atas, kita diperintahkan untuk menyampaikan apa yang kita ketahui dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan dilarang untuk berbicara pada sesuatu yang tidak kita ketahui. Sebagai penutup kita dengarkan nasehat seorang Ulama’ sebagai berikut:
“Belajarlah engkau untuk mengucapkan ‘Saya tidak tahu’. Dan janganlah belajar mengatakan ’saya tahu’ (pada apa yang kamu tidak tahu -red), karena sesungguhnya jika engkau mengucapkan ’saya tidak tahu’ mereka akan mengajarimu sampai engkau tahu”. Tetapi jika engkau mengatakan ‘tahu’, mereka akan menghujanimu dengan pertanyaan hingga kamu tidak tahu”.(Jami’ Bayanil ‘Ilmi 2/55 melalui nukilan Hilyatul ‘Alim Al-Mu’allim, Salim Bin Ied Al-Hilaly, hal 66)
Perhatikan pula ucapan Imam Asy-Sya’bi Rahimahullah, “Kalimat ’saya tidak tahu’ adalah setengah ilmu”. (Riwayat Ad-Darimi 1/63; Al-Khatib dalam Al-Faqih Wal Mutafaqih juz 2/173; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 810. Lihat Hilyatul ‘Ilmi Al-Mu’allim ham 65)
Maka kalau seseorang ’sok tahu’ tentang sesuatu yang tidak ada ilmu padanya, berarti bodoh di atas kebodohan. Yakni bodoh tentang ilmunya dan bodoh tentang dirinya. Wallahu a’lam.
*)Jawaban di atas di ucapkan jika pertanyaanya berkaitan dengan masalah syari’at. Namun jika masalahnya berkaitan dengan masalah taqdir dan sejenisnya, jawabanny cukup dengan “Wallahu A’lam”. Karena Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam sendiripun tidak mengetahuinya. (Demikianlah yang kami dapatkan dari Syaikh Utsaimin dari majelisnya)
penulis : Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Sumber: Buletin Dakwah Manhaj Salaf edisi 74/tahun II
Selasa, 29 Juni 2010
tHe bLuE pLanEt
- 2/3 bagian bumi terdiri dari air, tapi hanya 3% yang bisa langsung digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan hanya 1% yang aman untuk diminum. 97% sisanya adalah air asin dari laut.
- Tidak hanya bumi, 2/3 bagian tubuh kita pun terdiri dari air.
- Saat kamu merasa haus, ternyata kamu baru kehilangan 1% dari jumlah air dalam tubuhmu.
- Makhluk hidup hanya bisa bertahan 3 hari tanpa air.
- Hampir 1/2 penduduk dunia menderita berbagai penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan air atau air yang tercemar.
- 1 dari 4 orang di dunia kekurangan air minum.
- 1 dari 3 orang tidak mendapat sarana sanitasi yang layak.
- Di Indonesia daerah rawan krisis air bersih di pulau Jawa adalah Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
- Sumur diperkirakan akan mengalami krisis air bersih yang sangat hebat pada tahun 2015.
Jumat, 18 Juni 2010
Jatuh Cinta
“Hooaaahhmmmmmmm.. Halo?”
Saat itu sekitar pukul 10.00 di satu pagi bulan Juli yang indah, dan aku baru saja dibangunkan dari tidur yang nyenyak oleh dering telepon yang terlalu awal. Aku tak sadar takdirku berada di ujung lain telepon.
“Apakah ini Leigh?” suara tenor itu bertanya.
“Yeah. Ini Leigh.” Aku langsung duduk tegak, membuat kepalaku terbentur kepala ranjang. Aku mengusap-usap dahiku dan terpaku tak percaya menatap gagang telepon di tanganku.
Aku bertemu Josh ketika kami sama-sama bekerja di sebuah restoran pizza. Bagiku itu cinta pada pandangan pertama, dan seluruh pegawai restoran mengetahuinya. Aku tak peduli kalau Josh lima tahun lebih tua daripada aku atau bahwa ia tidak tahu namaku (itu yang aku kira hingga telepon ini membuktikan sebaliknya). Aku 100% tergila-gila kepada pemuda itu, pemuda yang saat ini berada di ujung lain sambungan teleponku, memanggil namaku…
“Leigh? Halo? Leigh?”
Aku berhasil mengembalikan sedikit kesadaranku untuk menjawab. “Ya. Aku disini. Eh, hai.”
“Leigh, aku perlu bicara denganmu. Apa boleh aku menjemputmu setengah jam lagi?”
Bolehkah dia? “Yeah. Tentu.” Aku menjawab, mencoba terdengar santai. Kami mematikan sambungan, dan aku terpaku menatap telepon selama beberapa saat lagi, sampai aku sadar bahwa aku punya waktu dua puluh delapan menit sebelum pujaan hatiku sampai di pintu depan rumahku untuk menyatakan perasaannya kepadaku.
Tiga puluh menit kemudian, aku berdiri menengadah menatap sosok Josh di ambang pintu rumahku. Rasanya seperti mimpi. Ia tampak agak salah tingkah saat berdiri di sana, tubuh tinggi rampingnya bergerak-gerak gelisah.
“Ayo kita pergi.” Katanya.
Josh lebih dulu berjalan menuju mobilnya, lalu kami sama-sama naik. Ketika kami keluar dari halaman rumahku, aku kembali menatap wajahnya yang tampan. Bibirnya penuh tapi kencang, hidungnya lurus dan sempurna, dan matanya, mata mahoninya yang berkilat, lebar, dan indah sedang… membalas tatapanku! Wajahku merona malu, dan mulutku berusaha mengucapkan sesuatu, tapi Josh memotong perkataanku. Ia tidak berbasa-basi, tapi langsung ke pokok persoalan.
“Aku sudah lama mendengar gosip di tempat kita bekerja,” ia mulai berbicara.
Ini bukan pendahuluan yang kuharapkan.
“Gosip macam apa?” aku memberanikan diri bertanya.
Josh melontarkan tatapan menuduh. “Oh, orang-orang cuma bilang bahwa kau dan aku berkencan, dan bahwa kau dan aku akan bertunangan. Segala macam omongan yang muluk-muluk.” Ia menatapku penuh arti. “Karena aku bahkan tidak pernah berbicara denganmu sampai pagi ini, aku tidak mengerti bagaimana ada orang yang bisa mendapat kesan itu. Kecuali seseorang,” ia berhenti dengan dramatis, “mengatakannya kepada mereka.”
Aku terpaku menatapnya, kaget. Lama aku tidak bisa berbicara, mulutku mencoba menyusun bantahan yang tidak bisa melewati tenggorokanku. Sebuah catut menjepit hatiku, meremasnya sakit. Akhirnya, aku berhasil sedikit menenangkan diri untuk mengatakan, “Aku bersumpah, aku tidak pernah mengucapkan hal semacam itu. Aku mungkin memang” ---tenggorokanku mulai mengerut, tapi aku berhasil berbisik dengan perasaan terhina--- “agak menyukaimu, dan beberapa orang mengetahuinya, tapi aku berjanji, aku bersumpah padamu, aku tidak pernah mengisyaratkan hal-hal lain. Aku minta maaf.”
Josh menatapku. Rasa kagetku karena tuduhannya dan setiap penghinaan yang kurasakan tertera jelas di wajahku. Sesaat kemudian, ia menerima kebenaran yang kunyatakan, dan ia mencoba mengganti topic pembicaraan dengan hal-hal yang lebih ringan. Tapi aku sibuk berusaha menahan airmataku supaya tidak menetes, dan tidak bisa menjadi teman bicara yang baik.
Lima menit kemudian, aku memintanya membawaku ke rumah temanku Annette. Ketika mobilnya pergi, airmataku berderai membasahi pipi. Aku berbalik dan melihat Annette bergegas keluar rumah. Aku berlari ke arahnya dan isak tangis membuat tubuhku bergunjang. Ketika tangisku sudah mereda, sahabatku memegang wajahku dengan kedua tangannya dan berkata pelan, dengan kebijaksanaan yang jauh lebih matang daripada usianya, “Jika rasanya enak, orang takkan menyebutnya jatuh cinta.”
-J.Leigh Tunner-